Social Icons

Featured Posts

Rabu, 05 Februari 2014

Benteng Lohayong


Benteng Peninggalan Portugis
 
Yang dibangun pada abad XV oleh Pater Antonio da Crus, OP yang selesai diabngun pada tahun 1556.
Berada pada ketinggian 10 m diatas permukaan laut dengan panjang 72 m dan  lebar 45 m.
Terletak di desa Lohayong, Solor.







Pada abad ke-16 & 17, selama kira-kira satu abad, Desa Lohayong merupakan pusat kawasan perdagangan laut. Pada 20 April 1613, ketika Pieter Both menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, benteng tersebut direbut dari Portugis di bawah komando �kepala regu� Apolonius Schot. Ketika itu ada sekitar seribu orang di dalam benteng. Sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Setelah berhasil merebut benteng, Schot menyerahkan komando benteng kepada Kapten Adriaen van der Velde, kemudian dia memberinya nama �Henricus�. Setelah itu Schot kembali ke Batavia, dan tak lama kemudian ia meninggal di sana. Saat itu perdagangan komoditas kayu cendana sedang naik. Pada 13 Oktober 1615, perdagangan komoditi kayu cendana tidak lagi menguntungkan. Hal ini membuat Dewan Hindia Belanda memutuskan untuk mengosongkan benteng Henricus dan membumiratakannya. Pada 1618, Benteng Henricus dibangun lagi oleh Van Raemburch. Ia adalah kawan dekat Jan Pieterszoen Coen. Ia membekali Raemburch sepucuk surat untuk disampaikan kepada para pendukungnya di Solor. Dalam surat itu Coen meminta maaf, karena sebelumnya menghancurkan benteng Henricus, dan mohon agar para pendukungnya bersedia membantu pembangunan kembali. Para buruh pribumi diberi upah setengah kilogram beras per hari, sedangkan para sukarelawan Belanda diperbolehkan mengambil jatah yang lebih banyak. Benteng baru adalah redut yang dapat menampung 30 atau maksimal 40 serdadu. Pembangunannya dilaksanakan sehemat mungkin. Menurut Coen, redut itu berbentuk segi empat dengan empat sudut. Redut akhirnya ditempati oleh 23 tentara Belanda dan 80 warga Solor yang merupakan �keluarga besar� seorang penguasa pribumi bernama Kitchil Protavi, dan 17 orang Cina. Pada 1622, seorang penguasa baru dilantik di benteng Henricus, yaitu Kepala Pedagang yang bernama Jan Thomasz Daijman. Pada akhir 1625 ia malah bergabung dengan Portugis di Larantuka (Flores), ketika utusan VOC Komandan Jan Pietersz Reus tiba di Solor. Sebelum Reus wafat, dia menunjuk Jan de Hornay sebagai gantinya. Kapten Elye Ripon�seorang warga negara Swedia, yang menjadi pimpinan armada Kumpeni�berhasil menghalau satu kapal fregat Portugis, yang kebetulan berlayar di pelabuhan Larantuka. Oleh karena keberhasilan ini, mereka disambut hangat saat tiba di Benteng Henricus (Solor) oleh raja/penguasa setempat yang datang bersama dua ratus serdadu bersenjata lengkap. Juga ada seratus gadis yang disuguhkan kepada Ripon dan serdadunya. Pada 1628, J P. Coen kembali menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dia berpendapat, perdagangan di kawasan Maluku, Ambon, Seram dan Solor serta Timor perlu dilindungi dari orang-orang Makasar. Sementara itu di Solor terjadi konflik antara orang kaya Kitschil Protavi melawan dua orang kaya dari pulau lain yang didukung Portugis di Larantuka. Dalam konflik itu 8 orang Belanda tewas, sehingga mau tidak mau VOC terseret. Serentetan perang kecil terus terjadi antara kelompok yang berseteru. Penguasa Belanda di Solor, De Hornay, mengusahakan semacam gencatan senjata dengan pihak Portugis di Larantuka. Pada Desember 1628, di Batavia diputuskan bahwa redut Henricus di Solor dikosongkan saja, dan kegiatan perdagangan dilakukan dari kapal-kapal di perairan sekitarnya. Gencatan senjata dengan pihak Larantuka dijadikan alasan oleh VOC bahwa Redut Henricus tidak diperlukan lagi. Gubernur Jenderal mengutus seorang kepala pedagang yang bernama Gregory Cornelisz ke Solor. Ia ditugasi untuk meneliti kegiatan De Hornay dan membumiratakan benteng Henricus. Pada 1645, Kitchil Protavi meninggal dan digantikan oleh istrinya, Injay (atau Nyai) Chili. Ia merupakan wakil terkemuka dari kelompok penduduk di kawasan tersebut. Sementara itu, di Benteng Henricus diangkat Letnan Hendrick Hendricksz van Oldenburgh, yang dibantu 34 serdadu, beberapa meriam dan sejumlah amunisi. Akan tetapi van Oldenburgh dinilai kurang tegas, sehingga diganti oleh Kepala pedagang Hendrick ter Horst yang mendesak Gubernur Jenderal agar mengirimkan bantuan militer ke Solor untuk menumpas Larantuka yang dikuasai Portugis. Pada Mei 1654, Ter Horst diijinkan kembali ke Batavia, dan digantikan oleh Kapten Jacob Verheijden, yang tak lama kemudian tewas dalam peperangan melawan tentara Portugis di Amabi (di seberang Kupang). Pada 1657, Gubernur Jenderal Hindia Belanda memberi surat kepada Injay Chili yang berisi kekecewaan, karena Injay dinilai kurang membantu pihak Belanda dalam pertempuran, dan juga dalam memelihara Benteng Henricus. Surat itu dibalas oleh Injay Chili dalam bahasa Melayu, yang juga disertakan terjemahannya dalam bahasa Belanda; antara lain berisi keheranan mengapa ia dinilai kurang membantu Belanda. Juga dikatakan bahwa ia bersama rakyatnya keberatan untuk dipindahkan ke pulau Roti. Alasannya adalah sudah terbiasa hidup di pulau Solor yang dikuasai VOC. Selain itu, pulau Roti juga berada di bawah VOC, jadi tidak ada perbedaan. Oleh sebab itu mohon agar ia bersama rakyatnya diperbolehkan tetap tinggal di Solor dan agar diberi amunisi serta senjata untuk mempertahankan pulau tersebut dari serangan Portugis.

 (In the 16th and 17 th centuries, for approximately one century long, Lohayong Village was the centre of sea trade activities. On April 20, 1613, when Pieter Both was the Governor General of Dutch Indies, the fort was seized from the Portuguese by a group under the commando of Apolonius Schot. At that time there were about one thousand people inside the fort; mostly women and children. After succeeding to take over the fort, Schot handed it over to Captain Adriaen van der Velde and gave it the name �Henricus�; Schot then returned to Batavia where he died shortly after his arrival. At the time the trade of sandlewood was quite booming. However, on October 13, 1615 the sandlewood trade was no more lucrative which prompted the Dutch Indies Council to abandon and destroy Fort Henricus. In 1618, Fort Henricus was rebuilt by Van Raemburh, a close ally of Jan Pieterszoen Coen who gave Raemburh a letter which he was to hand over to the supporters in Solor. In the letter Coen beg for pardon at having destroyed Fort Henricus and implore his supporters to assist in the rebuilding of the fort. The indigenous workers were given half a kilogram of rice each per day, while the Dutch volunteers were allowed to take more. The new fort is a redoubt that could accommodate 30 to maximally 40 soldiers and the construction was executed as cheaply as possible. According to Coen, the redoubt is square, with four corners. In the end, the redoubt was occupied by 23 Dutch solders and 80 Solor inhabitants, members of the big family of indigenous leader, Kitchil Protavi, and 17 Chinese people. In 1622, a new commander was appointed in Fort Henricus, the Head trader Jan Tohmasz Daijman. At the end of 1625 he joined the Portuguese in Larantuka (Flores) when VOC envoy, Jan Pietersz Reus, arrived at Solor. Before Reus died, he appointed Jan de Hornay as his successor. Captain Elye Ripon, a Swedish national who was the leader of VOC navy, succeeded to drive away the Portuguese warship which happened to sail into Larantuka port. Because of this victory, the Dutch were warmy greeted when they arrived at Fort Henricus (Solor) by the local king, who came with two hundred armed soldiers plus one hundred maidens who were offered to Captain Ripon and his soldiers. In 1628, JP Coen was again appointed as Governor General for Dutch Indies. He considered it necessary to protect the trade activities in the Moluccas, Ambon, Seram, Solor and Timor from Makassar marauders. In the meantime, a conflicet broke out in Solor between the rich man Kitschil Protavi against two other rich men from another island who were supported by the Portuguese in Larantuka. In the conflict, 8 Dutch soldiers died, thus implicating VOC in the fight. A series of small wars flared up between the opposing groups. The Dutch commander in Solor, De Hornay, managed to hold a kind of cease-fire with the Portuguese in Larantuka. In December 1628, it was decided in Batavia to abandon Redoubt Henricus in Solor, and trade activities were conducted by the ships sailing in the surrounding waters. VOC made use of the ceasefire with Larantuka to abandon Redut Henricus and he sent Gregory Cornelisz, the head trader as an envoy to Solor with the task to inspect the activities of De Hornay and to burn down Fort/Redoubt Henricus. Kitchil Protave died in 1645 and was succeeded by his wife, Injay (or Nyai) Chili who was the leader of the people in the area. In the meantime, Lieutenant Hendrick Hendricksz van Oldenburgh was appointed as commander in Fort Henricus; he had 34 soldiers, a number of cannons and ammunition. However, Oldenburgh was considered not firm enough and was succeeded by the head trader Hendrick ter Horts who urged the Governoet General to send military assistance to Solor, to seize Larantuka which was under Portuguese rule. In May 1654, Ter Horst was allowed to return to Batavia and was succeeded by Captain Jacob Verheiden who was shortly killed in a war against the Portuguese at Amabi (across Kupang). In 1657, the Dutch Governor General sent a letter fo Injay Chili in the Malay language, where he expressed his disappointment because Injay was considered not to provide enough support to the Dutch during the war against the Portuguese and in defending Fort Henricus. Injay Chili replied the letter with a letter in Malay, provided with a Dutch translation, expressing her astonishment at being accused of not providing enough support to the Dutch. She also wrote that she and her people were against being moved to Roti island sine they were already used to living at Solor under VOC. Moreover, Rote island is also under VOC, so there would be no difference; therefore she implored to be allowed to stay in Solor, and be given enough ammunition and weapons so she and her people could defend the island from Portuguese attacks.)

CAVE MARY




We start of PRR Monastery. PRR ( Puterei  Reinha Rosary ) is  a Sister Conggregation in Weri, Larantuka. There are 14 stattion’s of the cross and we strat at the first  station and make our way up the hill until we are reach number 14. At the top we can relax and enjoy  the view , over looking Adonara and Larantuka. You can light some candles and pray if you like, also you can enjoy a snack at the picnic tables provide by sisters. ( a donation in box for the up keep, is voluntary but very much appreciated. After that we can make our way back down through the sisters garden, you can even visit the chapel, souvenir shop and hotel in the Sisters Monastery. Located in Weri about 15 minutes from Larantuka town.

Rabu, 22 Januari 2014

Potensi wisata Flores Timur perlu Go International

Kabupaten Flores Timur sebagai Kabupaten kepulauan begitu kaya dengan panorama alam yang indah dan tradisi adat yang unik. Flores Timur juga memiliki sejumlah aset wisata budaya yang perlu dikembangkan dan dipertahankan keaslian budayanya sehingga dapat menarik wisatawan untuk datang di Pulau Flores bagian timur ini. Dari beberapa tempat berpotensi untuk wisata di Flores Timur, Dusun Riang Pedang, yang terletak  di desa Ile Padung kecamatan Lewolema ternyata menyimpan segudang keaslian budayan Lamaholot. Berdasarkan survey lapangan Incito Prematur yang dilakukan oleh N.G Sebastian, mengatakan, desa ini layak menjadi tempat obyek wisata budaya tingkat internasional.  

Berbagai tradisi asli budaya Lamaholot masih dipertahankan sehingga desa ini selalu kebanjiran wisatawan mancanegara. Pada tahun ini sebanyak 317 wisatawan mancanegara mengunjungi Riang Pedang untuk menyaksikan proses perkawinan tradisional Lamaholot, proses pembuatan benang, proses tenun ikat serta kunjungan ke korke atau langobelen (rumah besar/ rumah suku) yang merupakan tipikal rumah adat orang Flores Timur. Dalam kunjungan tersebut para wisatawan juga menyaksikan atraksi budaya berupa tarian adat yang dilengkapi dengan busana adat yang masih sangat asli. 

Selain wisata budaya, para wisatawan juga menyaksikan panorama alam yang begitu indah dengan hamparan pantai yang hijau serta sebuah teluk hading yang membelah ujung Tanjung Bunga dengan Lewolema. Di desa ini juga para wisatawan menyaksikan hasil produksi dan proses pembuatan biji mente menjadi makanan ringan yang telah dikenal dunia internasional melalui lembaga Swiss Contak. Sistem perkebunan yang menggunakan pupuk organik dengan produksi biji mente ini membuat desa yang pernah menjadi korban Gempa dan Tsunami 1992 ini, menjadi perhatian para wisatawan.

Wisatawan Kembali Lagi Ke Lewolema.
Selain ke Riang Pedang Desa Leworahang kecamatan Lewolema, wisatawan mancanegara dalam kesempatan yang berbeda kembali mengunjungi Desa Bantala kecamatan Lewolema senin,(8/6/10). Kunjungan yang semakin marak dengan tujuan Lewolema ini membuat orang semakin bertanya ada apa di Lewolema.Desa Bantala sebagai tujuan wisatawan asal Amerika yang berjumlah 12 orang tersebut ternyata merupakan induk dalam tradisi budaya Lamaholot versi Lewolema atau dikenal sebagai Lewo Kakan.
Di desa ini pula tersimpan sejumlah aset wisata budaya berupa berbagai kelengkapan atribut budaya asli berupa sarung adat, gelang, topi dan sejumlah perlengkapan lain. Para wisatawan mancanegara dalam kunjungan tersebut merasa begitu bangga dengan tradisi budaya orang Flores Timur yang saat ini masih dijaga. Laksmono Santos pemandu wisata ketika dimintai komentarnya mengatakan 13 tahun silam budaya Lewolema masih sangat terasa.
Menurutnya saat ini sudah ada sedikit pergeseran budaya, sehingga Laksmono mengharapkan, agar budaya yang ada ini perlu dipertahankan, karena pihaknya akan terus berupaya untuk menjual budaya ini kepada para wisatawan mancanegara untuk semakin dekat dengan Lewolema.
Laksmono mengharapkan agar semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat dan elemen-elemen lain untuk tetap dengan caranya tersendiri membantu masyarakat untuk melestarikan budaya asli ini.
 
Ritual/ Bahasa Tutur
Selain memiliki tradisi budaya yang unik, Flores Timur juga Memiliki Ritual atau tuturan ritual yang tersebar di berbagai wilayah etnik Indonesia Bahasa sangat beragam. salah satunya tuturan bahasa yang cukup unik ialah tuturan bahasa yang berada di flores timur. kelompok etnik lamaholot disana menyebutnya lewak tapo, yakni tuturan ritual yang digunakan sebagai alat komunikasi dengan tuhan, atau mereka sebut rera wulan tana ekan sebagai pencipta langit dan bumi dan ina ama koda kewokot sebagai roh leluhur mereka.
Ritual lewak tapo adalah proses membelah kelapa yang dimaksudkan untuk mencari tahu sebab kematian seseorang yang tidak wajar atau meninggal sebelum masa tua mereka. hal ini sekaligus bertujuan untuk membersihkan bobot dosa yang dilakukan orang tersebut ataupun keluarganya yang menyebabkannya meninggal dunia dan tidak akan terulang kembali di kemudian hari.
Pada pandangan orang lamaholot pengingkaran terhadap koda (kebenaran) menyebabkan seseorang mudah mati atau mati muda. Koda hampir mirip seperti norma yakni larangan atau perintah yang ditujukan agar terciptanya keharmonisan antar manusia, manusia dengan lingkungan dan yang terpenting manusia dengan sang pencipta. Seseorang yang mempunyai bobot dosa yang banyak akan ditimpalkan hukuman oleh rera wulan tana ekan berupa kematian yang tidak wajar. hal ini kemudian melahirkan tradisi ritual lewak tapo.
Simbol-simbol Ritual Lewak Tapo
1.Tapo / kelapa
Disimbolkan sebagai kepala manusia. karena kepala adalah pusat pengendali aktivitas manusia, kepala juga sebagai pengendali perilaku baik ataupun buruk. perilaku buruk tersebut yang mengakibatkan seseorang mengalami kematian yang tidak wajar, yang tidak lain adalah kendali dari kepala. lewat buah kelapa diyakini akan terungkap kesalahan – kesalahannya dan dilakukan pemulihan agar tidak terjadi kembali di kemudian hari.
 
2. Sirih Pinang
Ditujukan untuk menyapa atau untuk menghormati para roh leluhur ataupun para tamu pria yang dating. sirih pinang berbentuk seperti rokok. Sirih pinang juga disimbolkan sebagai jenis kelamin. Pinang ( wanita) dan sirih ( pria ). makna simbolik ini terdiri dari dua dimensi yakni :
a. dimensi sosialsebagai sarana pengikat atar semua orang yang terlibat dalam upacara lewak tapo. mereka dengan ikhlas ikut mensukseskan acara tersebut
b. dimensi religisebagai saran penyatu antara manusia dengan leluhur dan tuhannya. agar mendapatkan restu dalam pelaksanaan acara ritual tersebut.

3. Tuak
Minuman khas ritual lewak tapo ini juga memiliki dua makna yakni :
a. makna religious : tuak adalah sarana untuk menyatakan segala sesuatu yang dilaksanakan dalam ritual lewak tapo berada naungan leluhur. untuk itu leluhur sangat diutamakan dalam proses ritual ini.
b. makna sosial : tuak adalah sarana penguat sumpah antara mereka yang meminumnya dan menyisyaratkan ikatan social pada yang meminumnya.

4. Belegan : gumpalan kapas putih dengan jumlah yang ditentukan oleh molan (dukun). bertujuan untuk pengungkapan dan pembersihan bobot – bobot dosa yang dilakukan yang dapat menghambat jalannya upacara ini.
 
Ciri Bahasa Ritual
1. Diksi dan sajak cenderung tetap
2. Diucapkan oleh orang tertentu
3. Diucapkan pada tindakan ritual sakral
4. Digunakan untuk berkomunikasi dengan sang pencipta atau leluhur.
5. bahasanya cenderung berdaya magis.
 
Identifikasi Bahasa Ritual
1. Bahasa sehari-hari yang ditingkatkan fungsi , bentuk dan artinya.
2. Punya bentuk/susunan yang cenderung tetap.
3. Puitis dan metaforis
4. Menyajikan polisemi , homonym dan sinomini
5. Bentuk dan makna berkaitan secara sistematis.
 
Keyakinan orang lamaholot adalah kebersamaan. dengan ini menunjukan tradisi lewak tapo mengandung makna persatuan sebagai hubungan antara manusia dan leluhur. makna persatuan dengan leluhur ini membangun suatu nilai religious tersendiri di masyarakat lamaholot. orang lamaholot juga berkeyakinan pula leluhur dan tuhan berperan penting dalam ketentraman , keharmonisan , dan keselamatan hidup. lewak tapo juga bertujuan untuk melindungi generasi berikut. makna pemujaan ini menyiratakan kesadaran kita sebagai manusia adalah makhluk yang tidak berdaya di hadapan sang pencipta. Artinya bahasa tidak hanya sebagai bagian dari budaya, tetapi bahasa adalah gambaran bahasa dari budaya masyarakat/penuturnya tersebut.




Perlu Upaya Pengembangan
Kepala Dinas Perhubungan,Pariwisata,Komunikasi dan Informatika Kabupaten Flores Timur Drs.Thomas Padjon Tukan,M.Si ketika menerima kunjungan wisatawan mancanegara tersebut mengatakan bahwa kunjungan wisatawan asing memberikan makna akan pentingnya pengembangan pariwisata di Flores Timur.
Dikatakannya pula bahwa Pemerintah melalui Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika tetap terus berupaya mengembangkan program-program kepariwisataan untuk menjadikan Flores Timur sebagai daerah tujuan wisata.Terkait dengan itu pihaknya akan berupaya untuk mengembangkan obyek wisata di Flores Timur secara bertahap guna memenuhi kriteria sebagai obyek wisata yang menarik, apik,d an memikat bagi wisman, sehingga lebih lama tinggal di Flores Timur dan memberikan kenangan yang tidak terlupakan.
Perjalanan wisata budaya para wisatawan mancanegara tersebut terkesan menarik karena didukung oleh sarana dan prasarana serta Informasi yang cukup sebagaimana dikatakan Jhon Wilbert pemandu wisata Dinas terkait, khususnya dibidang Pengembangan Produk Wisata dan Pemasaran menyiapkan Leaflet guiding info, kalender Event Pariwisata, Jadwal atraksi upacara adat yang ada di Flores Timur selama satu tahun serta buku pesona wisata.
Mr. Gerard salah satu peserta wisata ketika dimintai komentarnya terkait perjalanan wisata di Flores Timur mengatakan bangga karena warga Flores Timur menerima rombongan wisman dengan baik, ramah,mempunyai kemampuan guide yang bagus serta pelayanan selama perjalanan tour terasa aman termasuk alur pergerakan lalu lintas yang begitu baik. Mr.Gerard mengharapkan perlu adanya peningkatan kondisi jalan dan areal pelabuhan Larantuka.

Daerah-daerah Potensi Wisata Dan Hal Yang Harus Dilakukan
Dunia pariwisata pada umumnya merupakan salah satu sektor yang dapat meningkatkan dan memajukan perekonomian. Dan wilayah Flores Timur yang memiliki potensi pariwisata yang begitu banyak dapat kita manfaatkan untuk kemajuan perekonomian daerah Flores Timur. Untuk diketahui, berdasarkan hasil pantauan beberapa lembaga survey nasional di bidang pariwisata, mengatakan bebrapa waktu lalu, Flores Timur dapat dijadikan sebagai daerah tujuan wisata yang bertaraf internasional selain Wisata Budaya Lewolema (Tanjung Bunga). Seperti, Danau Asmara, Jejak Kaki Gajah Mada (Tanjung Bunga), Pantai pasir putih Ritaebang (Solor), Danau Wibelen (Adonara), Pulau Konga, Selat Lewotobi dan Gugusan Pulau-Pulau Kecilnya yang indah dan masih banyak lagi tempat-tempat yang lainnya.
Menyikapi potensi ini, memang sudah seharusnya pemerintah daerah Flores Timur , dalam hal ini  dinas terkait, terus berupaya untuk memperkenalkan potensi wisata yang ada di Flores Timur yang begitu banyak. Hal ini jelas membutuhkan proses yang tidak mudah. Tetapi bukan tidak mungkin. Untuk itu, pemda dan instansi terkait harus sesegera mungkin mencari formula jitu (strategi promosi yang tepat) untuk mengemas daerah berpotensi wisata tersebut menjadi daerah tujuan wisata yang menjanjikan demi meningkatkan PAD Flores Timur di bidang pariwisata. Sudah tentu, hal ini juga harus ditunjang dengan pembangunan sarana dan prasarana yang bisa memfasilitasi para wisatawan untuk mau dan betah berkunjung ke daerah kita. Seperti pembangunan sarana jalan, pemugaran hotel dan penginapan yang memadai mau pun SDM manusia yang mampu menerima setiap dampak dari kemajuan pariwisata di daerah Flores Timur.
Untuk mencapai segala tujuan diatas, ada beberapa hal yang mungkin harus dilakukan oleh Pemda dan Instansi terkait seperti :
1.    Menambah tenaga ahli pariwisata (sesuai kebutuhan) dalam Dinas Pariwisata
2.    Melakukan diskusi-diskusi pariwisata dengan tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh          masyarakat dan lapisan masyarakat
3.    Memberikan kursus-kursus pariwisata kepada tenaga muda yang peduli dengan masalah pariwisata di Flores Timur
4.    Melestarikan adat dan budaya tradisional yang telah ada
5.    Menjalin kerjasama dengan pihak swasta yang berkompeten
6.    Mencaari investor di bidang pariwisata untuk membangun infrastruktur pariwisata yang dapat dijual
7.    Melakukan kegiatan promosi yang terus menerus, dll
Selain hal-hal diatas, masyarakat Flores Timur juga dituntut untuk mau bekerjasama dalam mensukseskan program-program di bidang pariwisata (andaikata ada) yang digulirkan oleh pemerintah. Masyarakat kita harus sadar bahwa sektor pariwisata dapat mendongkrak pendapatan perkapitanya. Juga dapat menambah laju pertumbuhan perekonomian Floes Timur. Sehingga tujuan pengentasan kemiskinan dan kemakmuran masyarakat Flores Timur sedikit dapat tercapai. Sekian.
sumber : http://larantuka.com/

Jumat, 17 Januari 2014



LARANTUKA
  

 
 



 Flores Timur  dengan ibukota   Larantuka adalah salah satu  kabupaten  di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di sebelah timur  dari Pulau Flores, yang terdiri dari Pulau Solor dan Pulau Adonara.

kota ini terkenal sebagai kota religi bagi umat Nasrani yang di sebut sebagai kota reinha.keindahan kota Larantuka tidak perlu di ragukan lagi karena terdapat banyak tempat wisata berupa pantai-pantai.yang sangat saya banggakan dari kota bekas penjajahan portugis ini adalah rasa solidaritas umat beragama yang sanga tinggi.

Meskipun Mayoritas penduduk adalah Nasrani namun  masyarakat disana hidup selalu berdampingan dengan tidak memandang perbedaan agama sehingga terciptanya kerukunan serta keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika anda tertarik untuk mengetahui budaya-budaya baik dari tarian atau menenun anda bisa langsung datang dan berkunjung kekota ini

Setiap tahun, pada saat menjelang dan saat perayaan Paskah umat Katolik, kota indah di bibir pantai ujung timur Pulau Flores ini dibanjiri ribuan peziarah dari berbagai kota di pelosok Tanah Air, bahkan dari luar negeri. Larantuka dalam sepekan itu menjadi 'kota bisu'. Para peziarah seolah bergerak dalam kebisuan untuk mengikuti dengan khusyuk “tapak-tapak penderitaan hingga prosesi pemakaman Yesus” khas adat Larantuka.



 
 

Tak hanya dikunjungi wisatawan domestik, tapi juga luar negeri. Berbagai alasan pun diberikan, ada yang ingin berwisata rohani ketika Paskah, ada pula yang datang sekadar untuk menyaksikan keramaian Semana Santa.

Di tengah apitan dua pulau ini terbentang sebuah lautan kecil dengan selat-selat sempit bagaikan sebuah telaga. Secara alami, Larantuka merupakan sebuah permukiman yang sangat indah.
Sebagai kota pelabuhan yang tidak terlalu besar, Larantuka memperlihatkan panorama yang dikelilingi bukit-bukit dan gunung Lewotobi ganda yang samar-samar tampak di bagian barat, sungguh mempesona

Kamis, 16 Januari 2014

Larantuka: Mutiara Iman dari Timur

Jauh di ufuk timur Indonesia, tepatnya di Pulau Flores bagian timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kota kecil bernama Larantuka yang memiliki nama yang besar di dalam sejarah kekristenan (Katolik) di tanah air. Sudah sekitar lima abad yang lalu, kota ini telah diinjili oleh para misionaris dari Portugis. Kekayaan iman yang pernah diterima dari para misionaris, khususnya ritual seputar Pekan Suci, tetap dipertahankan sampai saat ini, sekalipun mengalami sedikit degradasi makna manakala dibumbui oleh cita rasa komersialisme.

Catatan sejarah yang penting tentang Flores Timur berasal dari seorang pelayar Portugis bernama S.M. Cabot pada tahun 1544. Cabot, dalam pelayarannya ke ujung timur Pulau Flores, menjumpai sebuah bunga karang raksasa di Tanjung Bunga. Tempat di mana ia menemukan bunga karang tersebut dinamainya sebagai “Cabot de Flores”.

Sebelum misi Katolik menyentuh wilayah Flores Timur, sebagian besar masyarakat hidup dalam kepercayaan lokal yang menghormati roh-roh nenek moyang dan mempercayai takhyul. Sosok Yang Ilahi disapanya sebagai “Lera Wulan Tanah Ekan” atau sang Ada yang menguasai matahari, bulan, dan bumi. Selain itu, kekuasaan mutlak raja tak dapat ditandingi pihak manapun. Rakyat dianggap tidak memiliki hak; mereka hanya berharap dari kemurahan hati sang raja. Setelah masuknya kekristenan, dapat dikatakan bahwa situasi ini mengalami perubahan yang sangat besar, terutama terhadap kehidupan iman umat.

Misi Katolik di Flores Timur:

a. Pusat Misi di Solor
Iman Katolik di Larantuka dan di daerah sekitarnya dibawa oleh para misionaris dari ordo OP (Ordo Praedicatorum), OFM (Ordo Fratrum Minorum), SJ (Societas Jesu), dan SVD (Societas Verbi Divini). Dalam pelayaran portugis untuk mencari rempah-rempah pada peralihan abad ke-5 dan abad ke-6 di Kepulauan Nusa Tenggara, ikut serta pula para misionaris yang mengantongi izin resmi dari Paus untuk mewartakan iman Katolik di tempat persinggahan kapal dagang Portugis.

Pada tahun 1556, P. Antonio Taveira OP, membaptis 5000 orang di Pulau Timor dan banyak orang lain di daerah Flores Timur. Sayangnya, pembaptisan ini tidak segera diikuti dengan upaya-upaya pembinaan iman lanjutan sehingga umat yang telah dibaptis kembali lagi ke keadaan sebelum dibaptis yang diwarnai dengan praktek-praktek kekafiran. Upaya misi yang lebih serius dilakukan pada tahun 1561, yang ditandai dengan kedatangan tiga misionaris dominikan asal Portugis di Lohayong, Pulau Solor, yaitu P. Antonio da Cruz OP, Simâo das Chagas dan Bruder Alexio. Para misionaris ini tinggal di tengah komunitas pedagang portugis yang terpisah dari komunitas masyarakat lokal. Hanya pada saat-saat tertentu saja, para misionaris tinggal bersama dengan umat lokal dan melayani kebutuhan iman mereka. Pada periode tahun 1560-an, setelah mendapatkan serangan dari armada Islam, para misionaris memelopori pendirian benteng pertahanan untuk melindungi kepentingan dagang Portugis dan masyarakat setempat.

Pada tahun 1613, sebuah armada dagang Belanda (VOC- Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dipimpin oleh Apolonius Scotte menuntut pihak Portugis untuk menyerahkan benteng Lohayong, Solor. Setelah kehabisan amunisi dalam sebuah pertempuran sengit, akhirnya pihak Portugis menyerahkan Benteng Lohayong ke pihak Belanda pada tanggal 20 April 1613. Sebagian pedagang Portugis berangkat ke Malaka, dan sebagian lainnya berangkat ke Larantuka yang pada saat itu masih dikuasai Portugis. Pasca penyerahan benteng di Lohayong, Belanda menguasai pulau Adonara dan sebagian besar Pulau Solor, kecuali Lewolein dan Pamakayo.

b. Pusat Misi di Larantuka
Bersamaan dengan berpindahnya sebagian pedagang Portugis ke Larantuka, pusat misi di Solor kemudian dipindahkan ke Larantuka, Flores Timur. Pada tahun 1630, P. Michael Rangel OP, memperbaiki benteng di Solor yang telah ditinggalkan Belanda. Sementara itu Larantuka telah berkembang menjadi pusat misi yang baru. Pada tanggal 13 Desember 1633, P. Michael Rangel OP menuliskan sebuah laporan ke Portugal yang antara lain menyebutkan, “Masa gemilang agama Kristen sudah kembali lagi. Kurban misa dan perarakan diselenggarakan lagi, stasi-stasi misi didirikan, pertobatan orang kafir dan penghiburan kaum beriman telah berjalan kembali seperti dahulu.”

Misi Portugis di Larantuka rupanya terus didesak oleh pihak Belanda. Pada bulan Desember 1851, pihak Portugis dan Belanda mengadakan perjanjian pembagian wilayah Nusa Tenggara Timur. Beberapa kali perjanjian ini mengalami perubahan dan penegasan. Akhirnya, pada tanggal 20 April 1859, melalui sebuah perjanjian bersama, ditentukanlah bahwa Flores lepas dari pengaruh Portugis. Setelah perjanjian tersebut, perhatian para misionaris ke Pulau Flores menurun. Atas upaya kaum awam yang secara militan mempertahankan iman yang telah ditanamkan oleh para misionaris Portugis, iman Katolik dapat diwariskan. Kelompok Confreria Reinha Rosari Larantuka (kelompok religius awam) yang pernah didirikan oleh P. Lukas da Cruz pada tahun 1564, menjadi yang terdepan dalam mempertahankan tradisi-tradisi ke-Katolik-an yang telah diwariskan oleh para misionaris Portugis.

Setelah lepas dari pelayanan iman oleh misionaris Portugis, umat kemudian dilayani oleh para misionaris Belanda. Misi awal para misionaris Belanda ditandai oleh dua tantangan, yaitu a) kecurigaan umat terhadap bahaya protestanisasi, dan b) kualitas iman umat yang sangat merosot. Sebuah surat dari Fra Gregorio, seorang misionaris di Dili, kepada Raja Larantuka segera mengatasi kecurigaan umat terhadap bahaya protestanisasi pada saat itu. I.P.N. Sanders, misionaris pertama Belanda di Larantuka, menyaksikan kondisi iman umat yang sangat terbengkalai. Misionaris Belanda lain, yaitu Heynen, menuliskan, “Betapa banyak kebiasaan buruk telah masuk ke dalam hidup mereka. Takhyul tumbuh dengan subur bagaikan tanaman liar di ladang yang tak terurus. Animisme dilakukan dengan leluasa. Mabuk, dengan semua akibat yang tidak mengenal kesusilaan, balas dendam dan semua kekejaman tak berperikemanusiaan merajalela. Memang kita harus berjuang untuk melawan kepicikan dan kemalasan keagamaan di daerah ini”. Kedatangan Pater G. Metz SJ membuka daftar misionaris SJ di daerah Flores Timur. Beliau sangat berperan dalam memajukan bidang kesehatan dan pertanian. Pada tahun 1875, simbol kekafiran terakhir dihapuskan dengan dibubarkannya rumah adat kafir yang terakhir di wilayah tersebut. Lewat dukungan Raja Don Lorenzo DVG, Larantuka semakin mantap berkembang sebagai pusat misi Katolik.

Pada tahun 1913, para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) yang berpusat di Jerman, memasuki Gereja di Nusa Tenggara. Mereka mengambil kendali misi di Flores dari tangan misionaris SJ pada tahun 1914. Tempat pendidikan calon imam (seminari menengah) didirikan di Hokeng pada tahun 1950. Pada tahun 1958, sebuah tarekat suster lokal bernama Puteri Reinha Rosari (PRR) didirikan oleh Mgr. Gabriel Manek SVD. Para religius dan kaum awam yang mendapatkan warisan iman yang sama, terus bekerja sama memajukan iman yang pernah diterimanya.

Tradisi Pekan Suci (Semana Santa) di Larantuka:

Pekan suci adalah pekan terakhir dalam masa puasa dan pantang umat Katolik yang telah dibuka pada hari Rabu Abu (Ash Wednesday). Pekan ini disebut suci, karena umat secara khusus mengenangkan saat sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Pekan suci dibuka dengan Minggu Palma, saat untuk mengenangkan Yesus yang memasuki Kota Yerusalem untuk menderita dan wafat di salib. Selanjutnya diikuti dengan perayaan Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Santo, dan diakhiri dengan Minggu Paskah.

Pada hari Senin dan Selasa dalam Pekan Suci, umat  Larantuka menjalankan kegiatan seperti biasa, tanpa ada perayaan religius tertentu. Hari Rabu, adalah hari untuk mengenangkan Tuhan yang terbelenggu (Tuan Trewa). Umat Katolik Larantuka berkumpul di Kapel Tuan Trewa untuk mendaraskan ratapan Nabi Yeremia (lamentasi). Saat-saat puncak Pekan Suci adalah Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Santo, dan Minggu Paskah. Hari Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Santo sering disebut sebagai Tri Hari Suci.

a. Kamis Putih
Kamis Putih adalah hari peringatan perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Umumnya pada hari Kamis Putih pagi, diadakan misa Krisma yang dipimpin oleh uskup setempat untuk memberkati minyak yang dipakai untuk sakramen pembaptisan, krisma, pengurapan orang sakit, dan imamat. Pada sore harinya, imam mengadakan ekaristi, yang secara khusus dipersembahkan untuk mengenangkan perjamuan terakhir Yesus. Bagian integral dari perayaan ini adalah tindakan simbolis imam yang membasuh kaki 12 orang yang dipilih untuk mewakili 12 rasul Yesus. Biasanya, perayaan ekaristi ditutup dengan Adorasi/Penyembahan Sakramen Mahakudus (tubuh Kristus yang diletakkan di dalam monstrans) dan tuguran (doa bergilir di hadapan Sakramen Mahakudus).

Pada Kamis Putih pagi, umat Larantuka membuat pagar bambu (pasang turo) sebagai tempat lilin untuk prosesi yang diadakan pada hari Jumat Agung. Turo dipasang sepanjang jalur prosesi. Selain memasang pagar bambu, umat pun membuat Armida, yaitu tempat persinggahan Tuan Ma (arca Bunda Maria) dan Tuan Ana (peti yang berisi arca Yesus) yang diarak keliling kota dalam prosesi Jumat Agung. Selain itu, para petugas dari kelompok Confreria membersihkan arca Mater Dolorosa. Pada hari Kamis sore, kapel Tuan Ma dan Tuan Ana dibuka oleh keturunan Raja Larantuka.
Setelah misa Kamis Putih, dipersiapkanlah empat orang yang secara khusus melakukan promesa  (intensi) Lakademu. Para Lakademu melakukan Jalan Kure, untuk mengecek jalur prosesi dan kesiapan armida. Artefak-artefak religius peninggalan Portugis, yang akan ditempatkan di armida prosesi, dibersihkan pada hari Kamis Putih.
Sebagian besar umat yang tidak secara langsung bersentuhan dengan persiapan prosesi Jumat Agung mengisi waktunya dengan berziarah ke makam sanak keluarga yang telah meninggal dunia.

b. Jumat Agung
Jumat Agung adalah hari khusus untuk mengenangkan sengsara dan wafat Yesus Kristus. Umumnya umat Katolik berpuasa dan berpantang makan daging. Liturgi Gereja diisi dengan ibadat penyembahan Salib Yesus.
Bagi umat Larantuka, Jumat Agung adalah hari yang penting dan istimewa, karena pada hari ini umat mengadakan Prosesi Jumat Agung untuk mengenangkan Bunda Maria yang meratapi Puteranya yang menderita dan wafat di kayu salib. Prosesi ini sangat populer di kalangan umat, tidak hanya yang ada di Larantuka, tetapi juga yang ada di luarnya. Pada hari Jumat Agung, Larantuka bagaikan kota mati yang tak berpenghuni. Masyarakat menjalankan aktivitasnya tanpa menimbulkan keramaian yang amat mencolok.

Pada pagi hari, sekitar jam 10.00 WITENG, diadakan prosesi laut untuk mengarak patung Tuan Meninu (bayi Yesus). Perarakan ini berakhir di depan istana raja, dan selanjutnya di arak menuju armida Tuan Meninu. Perarakan diiringi dengan doa dan nyanyian dalam bahasa Portugis dan Indonesia.
Pada pukul 15.00 WITENG, bertepatan dengan jam wafatnya Yesus Kristus, arca Tuan Ma dan Tuan Ana diarak menuju ke Gereja Katedral Larantuka. Adapun urutan perarakan, antara lain: pemukul genda do (genderang), anggota Confreria, pembawa salib dan lilin, arca Tuan Ma, arca Tuan Ana, dan para petugas yang membawa simbol-simbol penghinaan terhadap Yesus, antara lain, palu dan paku besar, 30 keping uang perak, mahkota duri, tongkat, bunga karang, lembing. Perarakan itu diiringi dengan doa dan nyanyian.

Sebelum prosesi Jumat Agung diadakan, umat mengunjungi pemakaman terdekat untuk mendoakan arwah umat yang telah meninggal, sambil berharap agar mereka bangkit bersama dengan Yesus yang bangkit. Sementara umat berdoa, para Lakademu berjalan mengelilingi pekuburan dan kembali lagi ke Katedral untuk mempersiapkan diri mengikuti prosesi.

Prosesi adalah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh umat. Panjang prosesi mencapai 5 kilometer. Setelah doa pembukaan oleh uskup, seorang wanita tampil dan menyanyikan lagu ratapan “O Vos Omnes” (bdk. Rat. 1:12). Setelah prosesi berjalan, doa dan nyanyian dipandu oleh kelompok Confreria. Urutan perarakan prosesi, antara lain, barisan para pemukul genderang perkabungan, panji konfreria, anak–anak yang membawa simbol–simbol penghinaan Yesus, biarawan/wati, Lakademu pengusung Tuan Ma, para promesa, Tuan Ana, umat dan para peziarah. Semua orang yang mengikuti prosesi harus memegang lilin yang bernyala sepanjang jalan prosesi. Pada malam prosesi ini, Larantukan bagaikan lautan cahaya lilin.

Perjalanan prosesi menyinggahi delapan armida:
1. Armida Misericordiae. Di armida ini, umat disuguhkan bacaan Injil, doa-doa, dan nyanyian yang menghantar dan mengingatkan umat akan kedatangan Yesus Kristus.
2. Armida Tuan Meninu. Di sini, umat diajak untuk mensyukuri kasih Allah yang telah memenuhi janji-Nya untuk mengutus Putra-Nya ke dunia.
3. Armida Balela. Di armida ini, umat diajak untuk meneladani Yesus yang setia melaksanakan tugas perutusan-Nya
4. Armida Tuan Trewa (Tuan Terbelenggu). Umat diajak untuk merenungkan sikap dan teladan Yesus yang rela berkorban untuk menebus manusia dari perhambaan dosa.
5. Armida Pante Kebis. Umat diajak untuk merenungkan kesetiaan dan ketabahan Bunda Maria dalam mengikuti Yesus dari rumah Pilatus sampai puncak Kalvari.
6. Armida Pohon Sirih. Umat diajak untuk merenungkan cinta dan ketaatan Yesus kepada kehendak Bapa dengan mengorbankan diri-Nya di kayu salib.
7. Armida Kuce. Di armida ini, umat diajak untuk merenungkan penderitaan Yesus dan wafat-Nya di kayu salib.
8. Armida Tuan Ana. Di armida ini umat diajak untuk merenungkan Yesus yang diturunkan dari salib dan dimakamkan.
Arak-arakan prosesi berakhir di Gereja Katedral. Di depan gereja telah berdiri dua petugas untuk menerima sisa lilin dari umat (punto dama). Sisa lilin biasanya diolah kembali oleh kelompok Confreria untuk keperluan ibadat sepanjang tahun.

c. Sabtu Santo/Sabtu Halleluya
Sabtu Santo merupakan perayaan malam Paskah. Perayaan liturgi malam Paskah dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu a. Upacaya Cahaya yang melambangkan Kristus yang menghalau segala kegelapan, b. Liturgi Sabda untuk merenungkan karya penyelamatan Tuhan (7 bacaan dari Perjanjian Lama dan 2 bacaan dari Perjanjian Baru), c. Liturgi Baptis untuk memperbaharui janji baptis umat, d. Perayaan Ekaristi.
Pada hari ini, umat Katolik Larantuka menghantar Tuan Ma dan Tuan Ana kembali ke kapelnya masing-masing. Tuan Ana dan semua simbol penghinaan Yesus dihantar ke kapel Tuan Ana di Kelurahan Lohayong. Tuan Ma diarak menuju ke kapelnya di Pante Kebis. Pada hari ini pula, kota Larantuka disibukkan dengan arus kendaraan para peziarah yang kembali lagi ke tempatnya masing-masing.

d. Minggu Paskah
Perayaan ekaristi minggu Paskah diwarnai dengan sukacita karena “Tuhan telah bangkit”. Pada hari ini, para anggota Confreria mengevaluasi kegiatan selama Pekan Suci dan memeriksa kembali semua perlengkapan yang dipakai selama prosesi.

Catatan Akhir:
Adalah sebuah kebanggaan bagi masyarakat Flores Timur, khususnya masyarakat Larantuka bahwa mereka dapat mempertahankan warisan iman yang telah mereka terima dari para misionaris asing pada sekitar lima abad lampau. Di tengah perkembangan zaman yang semakin mengancam nilai-nilai keagamaan, tradisi iman tetap berdiri teguh.
Salah satu tradisi keagamaan di Larantuka yang paling populer adalah prosesi Jumat Agung. Prosesi iman yang berintikan Maria yang meratapi nasib anaknya yang menderita dan wafat di salib ini, telah menyedot perhatian ribuan orang dari dalam dan luar negeri. Salah satu daya tarik prosesi ini adalah lamanya ia dipertahankan, dan otentisitas ritualnya yang tetap terjaga. Menurut penulis, kedua faktor inilah yang menyebabkan prosesi Larantuka menjadi pilihan umat Katolik untuk melewatkan masa-masa puasa dan tobatnya. Larantuka bagaikan mutiara berharga yang sangat dicari oleh orang-orang yang haus akan kasih, kebaikan, dan mujizat ilahi.
Keberlangsungan suatu tradisi sangat tergantung dari generasi yang mewarisinya. Adalah sebuah tugas yang berat bagi orang muda Katolik di Larantuka untuk mewarisi warisan iman yang sangat berharga ini. Untuk itu, penulis berharap agar orang muda Katolik Larantuka tetap berpegang teguh pada iman dan merasa bangga sebagai orang muda Katolik Larantuka.
 

ILE MANDIRI TOUR & TRAVEL

ILE MANDIRI TOUR & TRAVEL
Jl. Joakim BL, De-Rosari RT/RW : 08/03 No. 108 Postoh, Larantuka, Flores Timur, NTT - Indonesia, +62 383 232 5746 ( Shop ), +62 821 699 953 48 ( hp ), E : larantukatourtravel@hotmail.com, W : ilemandiritourandtravel.com, Blog : ilemandiritourtravel.blogspot.com
 
Blogger Templates